Sabtu, 20 Februari 2010

Psikologi. ajis jusman

Psikologi Remaja, Karakteristik dan Permasalahannya

Penulis: Adib Asrori

Remaja

Menurut Hurlock (1981) remaja adalah mereka yang berada pada usia 12-18 tahun. Monks, dkk (2000) memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Bahkan ada yang dikenal juga dengan istilah remaja yang diperpanjang, dan remaja yang diperpendek.

Gunarsa (1989) merangkum beberapa karakteristik remaja yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan pada diri remaja, yaitu:

  1. Kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan.
  2. Ketidakstabilan emosi.
  3. Adanya perasaan kosong akibat perombakan pandangan dan petunjuk hidup.
  4. Adanya sikap menentang dan menantang orang tua.
  5. Pertentangan di dalam dirinya sering menjadi pangkal penyebab pertentangan-pertentang dengan orang tua.
  6. Kegelisahan karena banyak hal diinginkan tetapi remaja tidak sanggup memenuhi semuanya.
  7. Senang bereksperimentasi.
  8. Senang bereksplorasi.
  9. Mempunyai banyak fantasi, khayalan, dan bualan.

Permasalahan Alkohol dan Obat-Obatan Terlarang

Penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang akhir-akhir ini sudah sangat memprihatinkan.. Santrock (2003) menemukan beberapa alasan mengapa remaja mengkonsumsi narkoba yaitu karena ingin tahu, untuk meningkatkan rasa percaya diri, solidaritas, adaptasi dengan lingkungan, maupun untuk kompensasi.

  • Pengaruh sosial dan interpersonal: termasuk kurangnya kehangatan dari orang tua, supervisi, kontrol dan dorongan. Penilaian negatif dari orang tua, ketegangan di rumah, perceraian dan perpisahan orang tua.
  • Pengaruh budaya dan tata krama: memandang penggunaan alkohol dan obat-obatan sebagai simbol penolakan atas standar konvensional, berorientasi pada tujuan jangka pendek dan kepuasan hedonis, dll.
  • Cinta dan Hubungan Heteroseksual
  • Permasalahan Seksual
  • Hubungan Remaja dengan Kedua Orang Tua
  • Permasalahan Moral, Nilai, dan Agama

psikologi Anak Mengelola Stress


Oleh : Ubaydillah, AN

Stresssor Bagi Anak-anak

Dalam beberapa hal yang sangat spesifik, anak-anak memiliki sumber stresssor yang berbeda dengan orang dewasa. Seperti yang sudah kita singgung di atas, mungkin ini lebih terkait dengan alamnya, kebutuhannya, atau jangkauannya. Sumber stresssor yang spesifik untuk anak itu antara lain adalah pelajaran sekolah. Pelajaran sekolah bisa berpotensi menjadi stresssor ketika pelajaran itu diberikan dalam jumlah yang banyak, dalam waktu yang sangat pendek, atau dengan cara yang mengandung ancaman menurut pemahaman anak.

Meskipun sebetulnya dia mampu mengerjakannya atau punya kapasitas untuk menyelesaikannya, tapi soal jumlah, waktu, dan cara bisa menimbulkan persoalan. Banyak anak yang nilainya jeblok padahal dia sebetulnya bisa. Ini mungkin mirip seperti stress kerja pada orang dewasa, dimana ada beban / tekanan yang imbalance dengan kapasitas dan sumber daya.

Sistem pengajaran di sekolah-sekolah sekarang ini berbeda dengan zaman kita dulu, yang ujiannya hanya dua kali setahun. Mereka bisa 4 kali sampai lebih. Kalau guru A besoknya menjadwalkan ujian, lalu guru B memberi PR yang jumlahnya banyak, bisa saja memunculkan stress pada anak.

Hal lain yang juga kerap menjadi sumber stresssor adalah pergaulan. Di sekolah yang sebagus apapun, tetap saja ada ruang pergaulan yang di luar jangkauan kontrol guru. Bedanya hanya pada besar-kecilnya ruang itu. Semakin bagus sekolah, maka kontrolnya semakin bagus juga, kira-kira.

Namanya juga anak-anak, mungkin ada di antara mereka itu yang punya bawaan pelaku bullying (penindas), mungkin juga ada yang membawa ciri-ciri korban bullying (lemah, kalahan, dst). Pergaulan yang mengandung ancaman, ketakutan, tidak seimbang, dan lain-lain, sangat mungkin menimbulkan stress.

Hal lainnya lagi adalah pengasuhan atau keadaan keluarga. Model pengasuhan yang sudah didekte oleh ambisi yang berlebihan, amarah yang berlebihan, atau iri dengki terhadap anak lain, sangat mungkin menjadi stresssor.

Sikap orangtua yang cuek sampai menciptakan hubungan yang dirasakan oleh anak sebagai ketidakpedulian juga berpotensi menjadi stresssor. Hubungan suami istri yang dilanda konflik tidak sehat, lebih-lebih menahun, juga berpotensi menjadi sumber stresssor ketika semua itu sudah merembet pada buruknya hubungan orangtua-anak.

Untuk anak yang sedang “apes nasibnya”, tidak menutup kemungkinan akan menjadi depresi atau stress yang semakin menggunung dan berlangsung lama. Misalnya saja, sudah orangtuanya bertengkar terus secara tidak sehat, gurunya galak-galak pula. Sudah begitu, dia sedang ada problem dengan temanya dan PR-nya menumpuk. Ini yang sangat perlu kita antisipasi.

Di sisi lain, kita juga tetap perlu berpikir bahwa tidak semua stressor itu jelek bagi anak kita. Barangkali itulah proses hidup yang harus dia lewati atau “pendidikan Tuhan”. Tinggal kita mengarahkan bagaimana menyikapi pendidikan Tuhan itu secara positif supaya mendapatkan benefit yang positif.

Terlalu cepat mengambil tanggung jawab dari anak dalam menghadapi stressor (protektif), tidak berarti akan menjamin hasil yang bagus. Bahkan mungkin akan membuat anak miskin pengalaman hidup yang pada dasarnya buruk buat anak.

Beberapa Gejala Stress Pada Anak-anak

Dari sejumlah pemaparan ahli, ada beberapa gejala yang umum yang bisa kita pakai sebagai reminder / perhatian apakah anak kita sedang menghadapi stresssor atau tidak. Atau, setidak-tidaknya, kita perlu mengintensifkan dialog untuk memverifikasi atau mengkonfirmasi perasaannya.

Untuk anak-anak yang masih duduk di bangku SD, beberapa gejala itu antara lain:

  1. Enggan masuk sekolah
  2. Berbohong tanpa alasan yang bisa diterima akal sehat
  3. Mencuri yang merupakan indikasi adanya pelampiasan kengawuran (losing control)
  4. Tidak semangat belajar atau kurang konsentrasi belajar
  5. Hilangnya semangat hidup sehingga rewel, ngambekan, atau tidak berdamai dengan keadaan
  6. Sikap cenderung lebih menentang
  7. Hiperaktif
  8. Ngompol
  9. Problem makan
  10. Mudah mengeluhkan rasa sakit, seperti pusing, sakit perut, atau rasa sakit yang lain

Bagi anak-anak yang sudah mulai menginjak usia remaja, mungkin akhir kelas 6 atau awal masuk SMP (kelas 7), gejala yang perlu kita amati antara lain: sakit-sakitan atau mengalami banyak keluhan fisik, ada problema tingkah-laku, misalnya nakalnya menonjol, rasa malu berlebihan, ketakutan atau kekhawatiran, mudah tersinggung atau cepat kehilangan kontrol diri, atau malas-malasan belajar.

Jika dia punya kegiatan di luar rumah yang di luar kontrol orangtua, atau terlalu bebas, ini mungkin akan berpotensi sangat membahayakan mereka. Banyak bahaya yang ditelan remaja karena awalnya dari pengaruh pergaulan.

Beberapa Cara Membantu Mereka

Di luar dari apa yang perlu kita lakukan untuk membantu anak-anak, yang perlu kita tanyakan lebih dulu adalah apa yang mereka pikirkan untuk mengatasi masalahnya. Tujuan pertanyaan itu bukan untuk menemukan jawaban yang paling bagus menurut kita, tetapi untuk melatih mereka memunculkan kemandirian, minimalnya dalam berpikir.

Supaya suasana dan prosesnya eksploratif dan kreatif, yang perlu kita hindari adalah menghakimi jawabannya atau menunjukkan sikap yang meremehkan, seolah-olah jawabannya itu tidak berbobot, atau langsung memotongnya. Justru yang perlu kita tunjukkan adalah menjadi pendengar yang baik dan merangsang mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka terpacu untuk berpikir bagaimana menemukan solusi dari masalahnya.

Khusus untuk masalah pergaulan, mau itu dengan teman atau guru, yang perlu kita hindari adalah membelanya habis-habisan atau menyalahkannya habis-habisan. Membela tanpa alasan dapat melemahkan mentalnya.

Sebaliknya, menyalahkan anak yang sedang terkena masalah dapat memunculkan perasaan nobody helps them. Yang perlu kita lakukan adalah fokus pada persoalan dan bagaimana persoalan itu diselesaikan dengan cara yang membuat dia lebih pintar atau lebih matang. Untuk hal-hal yang perlu kita lakukan sebagai bantuan, kita bisa memformulasi strategi atau langkah berdasarkan kebutuhannya. Sekedar sebagai acuan / pilihan, kita bisa mengacu pada poin-poin di bawah ini:

  1. Mengantisipasi: membantu mereka mengerjakan PR atau mengajari cara-cara belajar yang lebih mudah, menjalin hubungan yang lebih cooperative dengan guru kelas, sering-sering berdialog agar cepat terdeteksi masalahnya, menunjukkan perhatian dan dukungan yang tulus. Ini bisa mengantisipasi stresssor.
  2. Mengarahkan, misalnya menjelaskan makna atau mengarahkan sikap positif. Ini pas digunakan untuk menjelaskan stresssor yang memang harus diterima, misalnya kematian, bencana, atau kepergian sahabat.
  3. Memperbaiki mekanisme atau siasat mental. Ini pas untuk melatih anak yang sedang punya masalah pergaulan yang menurut kita masih belum saatnya didiskusikan dengan pihak sekolah
  4. Memotivasi atau membesarkan hatinya yang diikuti dengan program nyata. Misalnya nilainya jatuh atau dihukum sekolah karena keteledorannya. Yang perlu kita lakukan adalah mengajak dia untuk meningkatkan kuantitas atau kualitas belajarnya. Tanpa program yang nyata, bisa-bisa kita membohongi mereka.
  5. Melaporkan ke sekolah / guru. Ini jika di kelas sudah terjadi praktek bullying yang didiamkan atau di luar kontrol guru. Kalau ada anak lain yang juga menjadi korban, kita perlu ajak orangtuanya untuk mendiskusikan solusinya dengan pihak sekolah. Tapi, karena anak-anak, maka fokus kita adalah problem dan solusi, bukan ke anaknya.

Ada konsep pendek yang bisa kita terjemahkan sevariatif mungkin untuk membantu mereka dalam mengatasi stress. Sebenarnya ini juga pas buat orang dewasa seperti kita. Konsep yang yang pendek itu adalah:

  1. Membiarkan, untuk hal-hal yang sudah tak mungkin diubah.
  2. Melakukan sesuatu, untuk hal-hal yang memang harus diubah atau masih bisa diubah
  3. Mengantisipasi kejadian atau akibat yang bisa menjadi stresssor.

Cuma, semua itu butuh proses. Tidak bisa kita menyuruh anak untuk melupakan atau membiarkan sesuatu yang ia anggap itu menekan dirinya. Membiarkan pun butuh proses. Dalam banyak hal, peranan waktu menjadi penting.

Beda Generasi Beda Stressor

Sepertinya kurang pas jika kita selalu berpikir anak-anak kita itu sudah jauh dari stressor karena hidupnya sudah jauh lebih enak dibanding kita dulu. Dalam beberapa hal, memang mereka lebih enak dibanding kita, tetapi untuk hal-hal tertentu, dia tidak lebih enak dibanding kita.

Dulu, problemnya kita mungkin kurangnya fasilitas, seperti sekolah harus jalan kaki berkilo-kilo. Tapi sekarang ini problemnya macet dan tuntutan kompetensi serta kompetisi. Banyak anak kecil yang harus bekerja keras untuk sekolah. Intinya, setiap generasi itu ada masalahnya sendiri dan ada peluangnya sendiri. Tuhan menyebut diri-Nya sebagi Pendidik alam semesta. Sebagai Pendidik, pasti akan membedakan masalah dan peluangnya. Semoga bermanfaat.

Psikologi Masalah Kejiwaan Ortu & Cara Memperlakukan Anak
Oleh : Jacinta F. Rini

Beberapa hasil penelitian tentang masalah-masalah kejiwaan yang dialami orangtua dan berpengaruh terhadap tindakan penyiksaan dan atau penganiayaan terhadap anak dapat di bedakan sebagai berikut:

· Gangguan Jiwa atau Gangguan Kepribadian

· Depresi

· Pecandu Obat Terlarang / Alkoholik

· Masalah Perkawinan

Gangguan Jiwa atau Gangguan Kepribadian

Seorang peneliti bernama Rose Cooper Thomas yang melakukan penelitian terhadap hubungan antara ibu dan anak, menemukan bahwa ibu yang mengalami gangguan jiwa Schizophrenia (dengan kecenderungan perilaku yang acuh tak acuh), maka cenderung menghasilkan anak yang perilakunya suka memberontak, jahat, menyimpang atau bahkan anti sosial. Namun sebaliknya ada pula yang anaknya jadi suka menarik diri, pasif, tergantung dan terlalu penurut. Peneliti lain juga menemukan, gangguan jiwa sang ibu berakibat pada terganggunya perkembangan identitas sang anak.

Penemuan yang sama juga mengungkapkan bahwa gangguan Obsesif Kompulsif yang dialami orang tua sangat berkaitan erat dengan sikap pengabaian mereka terhadap anaknya. Sebab, gangguan Obsesif Kompulsif ini menjadikan individu nya lebih banyak memikirkan dan melakukan ritual-ritualnya dari pada tanggung jawab mengasuh anaknya.

Munchausen's Syndrome by Proxy

Munchausen Syndrome by Proxy (MSbP) adalah gangguan mental yang biasanya dialami oleh wanita, dalam hal ini seorang ibu terhadap anaknya (biasanya pada bayi atau anak-anak di bawah usia 6 tahun) dan biasanya berakibat sang anak harus mendapatkan perawatan serius di rumah sakit. Dalam penyakit yang digambarkan pertama kali oleh Meadow pada tahun 1977 ini dideteksi adanya unsur kebohongan yang bersifat patologis dalam kehidupan sehari-hari sang ibu sejak dahulu hingga sekarang.

Pada kasus yang parah, sang anak secara terus menerus dihadapkan pada situasi yang mengancam keselamatan jiwanya; dan sang ibu yang melakukannya dari luar justru kelihatan lemah lembut dan tulus. Gangguan jiwa yang berbahaya ini bisa berakibat pada kematian anaknya karena pada banyak kasus ditemukan bahwa sang ibu sampai hati menyekap (atau mencekik) dan meracuni anaknya sebagai bukti pada dokter bahwa anaknya benar-benar sakit.

Memang, pada kasus-kasus ini sering ditemukan adanya sejarah gangguan perilaku antisosial pada sang ibu, yang disebabkan dirinya sendiri mengalami pola asuh yang salah dari orang tuanya dahulu. Pada kasus lain ditemukan bukti bahwa ternyata sang ibu mengalami gangguan somatis seperti contohnya (menurut istilah medis) gangguan neurotik, hypochondria, atau gangguan yang bersifat semu lainnya). Ditemukan pula, bahwa ibu-ibu yang tega melakukan hal ini terhadap anaknya ternyata mengalami gangguan kepribadian yang cukup parah.

Depresi

Penelitian lain dilakukan oleh Chaffin, Kelleher dan Hollenberg (1996) terhadap anak-anak yang orang tuanya mengalami depresi atau pun psikopatologi. Menurut mereka, orang tua yang depresif ditemukan sering melakukan penyiksaan secara fisik terhadap anak-anak mereka. Anak-anak mereka juga dilaporkan mengalami masalah seperti depresi, masalah interpersonal, perilaku yang aneh-aneh dan mengalami masalah di sekolah atau dalam belajar.

Pecandu Obat Terlarang / Alkoholik

Keluarga yang alkoholis cenderung lebih tidak stabil dan tidak dapat diramalkan perilakunya. Segala aturan main dapat saja berubah setiap waktu, dan seringkali mudah mengingkari janji-janji yang pernah dibuat. Demikian pula dengan pola asuh orang tua terhadap anak. Pola asuh yang diterapkan seringkali berubah-ubah secara tidak konsisten; dan tidak ada ruang bagi anggota keluarganya untuk mengekspresikan perasaannya secara apa adanya karena banyaknya batasan dan larangan untuk membahas “keburukan†keluarga.

Oleh karena itu para anggota yang lain dituntut untuk mampu menjaga rahasia supaya tidak ada keterlibatan pihak-pihak luar dan supaya tidak ada yang mengetahui problem keluarga mereka. Situasi ini tentu saja membuat perasaan tertekan, frustrasi, marah, tidak nyaman dan kegelisahan di hati anak-anaknya. Sering anak berpikir bahwa mereka telah melakukan sesuatu kekeliruan yang menyebabkan orang tua punya kebiasaan buruk. Akibatnya, rasa tidak percaya, kesulitan mengekspresikan emosi secara tepat, serta kesulitan menjalin hubungan sosial yang erat dan sejati, menjadi masalah yang terbawa hingga dewasa. Menurut penelitian beberapa ahli, anak-anak dari keluarga ini lebih beresiko mengembangkan kebiasaan alkoholismenya di masa dewasa dari pada anak-anak yang bukan berasal dari keluarga alkoholis.

Menurut penelitian Chaffin, Kelleher dan Hollenberg (1996), pecandu obat terlarang dilaporkan menjadi faktor yang paling umum dianggap menjadi penyebab penyiksaan dan pengabaian terhadap anak-anak serta melakukan pengasuhan dengan cara yang tidak benar atau keliru.

Masalah Perkawinan

Salah satu kebahagiaan terbesar dalam hidup adalah merasakan hubungan yang hangat dan penuh dengan kasih sayang yang diperoleh dari orang-orang yang dicintai. Namun tidak selamanya setiap orang dapat merasakan hal ini, terutama jika mereka berada dalam keluarga yang mengalami masalah pelik yang tidak hanya mempengaruhi keharmonisan keluarga, namun pengaruhnya sampai pada kehidupan emosional para anggotanya.

Akibatnya, setiap anggota keluarga merasakan bertambahnya beban mental atau tekanan emosional yang terus menerus bertambah dari hari ke hari. Beban mental ini akan semakin berat kalau suasana dalam keluarga serasa mencekam, seperti di kuburan, tidak ada satu orang pun yang berani mengemukakan emosi dan pikirannya, dan tidak ada keleluasaan untuk bertindak. Tidak ada suasana keterbukaan ini hanya akan meningkatkan ketegangan dari setiap anggota keluarga.

Pada umumnya, anak-anaklah yang menjadi korban pelampiasan ketegangan, kecemasan, kekesalan, kemarahan dan segala emosi negatif yang tidak bisa dikeluarkan. Sebabnya, anak-anak lebih berada posisi yang lemah, tergantung pada orang tua dan tidak berdaya sehingga mudah sekali menjadi sasaran agresivitas orang tua tanpa memberikan perlawanan. Akibatnya, pada beberapa kasus terjadi tindakan kekerasan fisik orang tua terhadap anak hanya karena orang tua tidak dapat mengendalikan dorongan emosinya.

Psikologi Gangguan Keterlambatan Bicara

Oleh : Jacinta F. Rini

Banyak orang tua yang khawatir jika anaknya belum lancar bicara padahal dilihat dari segi usia sepertinya sudah lewat dan jika dibandingkan dengan anak-anak tetangganya, teman-temannya, saudara-saudaranya kok ketinggalan jauh. Kenyataan tersebut pada akhirnya sering mengundang pertanyaan yang diajukan kepada e-psikologi. Untuk itu lah kami akan mengulas persoalan keterlambatan bicara pada balita.

Gangguan kemampuan bicara atau keterlambatan bicara dan berbahasa ini haruslah dideteksi dan ditangani sejak dini dan dengan metode yang tepat. Bagaimana pun juga, bicara dan bahasa merupakan media utama seseorang untuk mengekspresikan emosi, pikiran, pendapat dan keinginannya. Bayangkan saja, jika ia mengalami masalah dalam mengekspresikan diri, untuk bisa dimengerti oleh orang lain atau orang tuanya, guru dan teman-temannya, maka bisa membuat ia frustrasi. Mungkin pula ia akan merasa frustrasi dan malu karena teman-temannya memperlakukan dia secara berbeda, entah mengucilkan atau pun membuatnya jadi bahan tertawaan. Jika tidak ada yang bisa mengerti apa sih yang jadi keinginannya atau apa yang dimaksudkannya, maka tidak heran jika lama kelamaan ia akan berhenti untuk berusaha membuat orang lain mengerti. Padahal, belajar melalui proses interaksi adalah proses penting dalam menjadikan seorang manusia bertumbuh dan berhasil menjadi orang seperti yang diharapkannya.

Untuk memahami lebih lanjut tentang keterlambatan bicara, maka Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak perlu mengetahui beberapa hal sebagai berikut:

Bila Anak Terlambat Bicara

Gangguan keterlambatan bicara adalah istilah yang dipergunakan untuk mendeskripsikan adanya hambatan pada kemampuan bicara dan perkembangan bahasa pada anak-anak, tanpa disertai keterlambatan aspek perkembangan lainnya. Pada umumnya mereka mempunyai perkembangan intelegensi dan sosial-emosional yang normal. Menurut penelitian, problem ini terjadi atau dialami 5 sampai 10% anak-anak usia prasekolah dan lebih cenderung dialami oleh anak laki-laki dari pada perempuan. Pada kasus-kasus tertentu, hambatan berbicara dan berbahasa terlihat dari adanya hambatan dalam menulis.

Adapun penyebab dari keterlambatan bicara ini disebabkan oleh beragam faktor, seperti:

1. Hambatan pendengaran
Pada beberapa kasus, hambatan pada pendengaran berkaitan dengan keterlambatan bicara. Jika si anak mengalami kesulitan pendengaran, maka dia akan mengalami hambatan pula dalam memahami, meniru dan menggunakan bahasa. Salah satu penyebab gangguan pendengaran anak adalah karena adanya infeksi telinga.

2. Hambatan perkembangan pada otak yang menguasai kemampuan oral-motor
Ada kasus keterlambatan bicara yang disebabkan adanya masalah pada area oral-motor di otak sehingga kondisi ini menyebabkan terjadinya ketidakefisienan hubungan di daerah otak yang bertanggung jawab menghasilkan bicara. Akibatnya, si anak mengalami kesulitan menggunakan bibir, lidah bahkan rahangnya untuk menghasilkan bunyi kata tertentu.

3. Masalah keturunan
Masalah keturunan sejauh ini belum banyak diteliti korelasinya dengan etiologi dari hambatan pendengaran. Namun, sejumlah fakta menunjukkan pula bahwa pada beberapa kasus di mana seorang anak anak mengalami keterlambatan bicara, ditemukan adanya kasus serupa pada generasi sebelumnya atau pada keluarganya. Dengan demikian kesimpulan sementara hanya menunjukkan adanya kemungkinan masalah keturunan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi.

4. Masalah pembelajaran dan komunikasi dengan orang tua
Masalah komunikasi dan interaksi dengan orang tua tanpa disadari memiliki peran yang penting dalam membuat anak mempunyai kemampuan berbicara dan berbahasa yang tinggi. Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa cara mereka berkomunikasi dengan si anak lah yang juga membuat anak tidak punya banyak perbendaharaan kata-kata, kurang dipacu untuk berpikir logis, analisa atau membuat kesimpulan dari kalimat-kalimat yang sangat sederhana sekali pun. Sering orang tua malas mengajak anaknya bicara panjang lebar dan hanya bicara satu dua patah kata saja yang isinya instruksi atau jawaban sangat singkat. Selain itu, anak yang tidak pernah diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri sejak dini (lebih banyak menjadi pendengar pasif) karena orang tua terlalu memaksakan dan "memasukkan" segala instruksi, pandangan mereka sendiri atau keinginan mereka sendiri tanpa memberi kesempatan pada anaknya untuk memberi umpan balik, juga menjadi faktor yang mempengaruhi kemampuan bicara, menggunakan kalimat dan berbahasa.

5. Faktor Televisi
Anak batita yang banyak nonton TV cenderung akan menjadi pendengar pasif, hanya menerima tanpa harus mencerna dan memproses informasi yang masuk. Belum lagi suguhan yang ditayangkan berisi adegan-adegan yang seringkali tidak dimengerti oleh anak dan bahkan sebenarnya traumatis (karena menyaksikan adegan perkelahian, kekerasan, seksual, atau pun acara yang tidak disangka memberi kesan yang mendalam karena egosentrisme yang kuat pada anak dan karena kemampuan kognitif yang masih belum berkembang). Akibatnya, dalam jangka waktu tertentu yang mana seharusnya otak mendapat banyak stimulasi dari lingkungan/orang tua untuk kemudian memberikan feedback kembali, namun karena yang lebih banyak memberikan stimulasi adalah televisi (yang tidak membutuhkan respon apa-apa dari penontonnya), maka sel-sel otak yang mengurusi masalah bahasa dan bicara akan terhambat perkembangannya.

ANOTASI PSIKOLOGI

OLEH :

NAMA : AJIS JUSMAN BARTHOLDI

KELAS : L

NIM :084 11 032

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

IKIP MATARAM

2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar